KH. Zainal Ali Suyuthi adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoirot yang kedua. Beliau adalah menantu dari KH. Syuhud
Zayyadi dan mengemban amanah sebagai Pengasuh Pesantren setelah KH. Syuhud Zayyadi wafat pada
tahun 1993. Guru-guru beliau adalah sebagai berikut :
- KH. Baqir Abdul Hamid bin KH. Abdul Majid Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar
- KH. Muhammad Syamsul Arifin Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar
- Syed Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Makkah Al-Mukarramah
- Syekh Ismail Al-Yamani, Makkah Al-Mukarramah
- Syekh Al-Harawi, Jeddah, Arab Saudi
In Memoriam KH Zainal Ali Suyuthi
Mengenang KH Zainal Ali Suyuthi,
Pengasuh Ponpes Al-Khoirot 1993- April 2011 oleh KH. A. Fatih Syuhud, tulisan ini juga dimuat di Buletin
Al-Khoirot Edisi April 2011.
![]() |
Almarhum KH. Zainal Ali Suyuthi (1960-2011) |
Saya kira setiap muslim menyadari
betul arti Al Quran Surah Ali Imran (3) ayat 185 yang menyebutkan bahwa setiap
yang bernyawa akan merasakan mati atau makna dari Surah An Nisa’ (4) ayat 78
yang menegaskan bahwa, “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkanmu,
kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh.” Namun, manusia
tetaplah makhluk Allah yang terdiri dari akal dan rasa.
Akal pikiran kami merelakan
kepergian beliau dengan keikhlasan penuh. Hal ini berdasarkan keimanan pada
Allah dan kepatuhan pada kehendakNya yang berhak mengambil jiwa manusia
kapanpun Dia kehendaki (QS Yunus 10:49) . Namun, rasa tidak dapat berbohong.
Rasa yang mengendalikan emosi kami merasa sulit berkompromi dengan akal. untuk
merelakan begitu saja kepergian beliau dari dunai ini untuk selamanya. Dan itu
terbukti saat keluarga besar Al-Khoirot—anak istri, saudara, santri dan
jama’ah– menangisi kepergian beliau yang terlalu cepat. Sampai-sampai istri
beliau, Ny. Hj. Lutfiyah Syuhud, terus menggumamkan ucapan, “Ya Allah, relakan
kami melepas kepergiannya” secara berulang-ulang dengan linangan air mata.
Menangisi yang meninggal adalah
manusiawi. Rasulullah sendiri menangis saat putra beliau Ibrahim meninggal.
Dalam Islam, yang tidak dibolehkan adalah meratap. Karena meratapi orang yang
meninggal identik dengan ketidakrelaan atas kehendak Allah.
Di sisi lain, banyaknya orang yang
menangis saat meninggalnya Kak Ali, begitu biasanya saya memanggil beliau,
adalah bukti betapai banyak orang yang mencintai, menghormati dan menyayangi
belau. Tangisan atau tidak adanya tangisan merupakan salah satu bukti dari
seberapa seseorang itu disayang atau dibenci semasa ia masih hidup.
Figur Sederhana
Kak Ali merupakan sosok figur yang
sederhana dalam banyak hal. Dan karena kesederhanaannya itulah ia memiliki
banyak teman dan hampir tidak punya musuh. Kesederhanaan dalam sikap identik
dengan perilaku tawadhu’ dan selalu mengalah serta tidak pernah memaksakan
kehendaknya walaupun itu dianggapnya baik.
Kesederhanaan dalam gaya hidup
(life-sytle) sangat tampak dalam cara beliau berpakaian. Beliau jarang membeli
baju baru kalau yang ada masih dianggap baik. Pada saat saya kembali dari India
pada Maret 2007, saya menghadiahi belaiu sebuah kaos t-shirt bertuliskan Delhi
University. Kaos t-shirt itu saya lihat masih sering belaiau pakai sampai
beberapa hari sebelum beliau wafat yang berarti beliau memakai kaos yang sama
selama 5 tahun.
Kesederhanaannya dalam gaya hidup
bukan berarti belau tidak mampu secara ekonomi. Belaiu adalah seorang pekerja
keras dan memiliki naluri wiraswasta yang baik. Oleh karena itu belaiu bukanlah
seorang yang kekurangan secara ekonomi. Kecukupan secara ekonomi dan pola hidup
yang sederhana membuat beliau dikenal sebagai orang yang dermawan. Para fakir
miskin yang datang meminta bantuan selalu pulang dengan senyuman. Begitu juga,
beliau adalah orang pertama mengeluarkan dana untuk pembangunan pesantren
Al-Khoirot sebelum meminta bantuan pada orang lain.
Melayani Umat
Selain pekerja keras dalam membina
usaha, beliau juga dikenal sangat rajin dalam berda’wah. Dengan majlis dzikir
Kalimatut Tauhid-nya beliau rajin berkeliling dari kampung ke kampung di
seputar kabupaten Malang dan Lumajang untuk menyebarkan da’wah pada umat.
Bahkan, sehari sebelum meninggal beliau masih sempat menghadiri majlis dzikir
dan pengajian di desa Gesing, Dampit.
Selain itu, beliau juga dikenal
sangat rajin bersilaturrahmi. Baik itu dalam bentuk menghadiri undangan
pengajian, undangan perkawinan, silaturrahmi biasa maupun takziyah pada orang
yang meninggal. Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah
memilih-milih status sosial yang akan dikunjungi. Bagi beliau mengunjungi
rakyat biasa sama berharganya dengan mengunjungi ulama atau pejabat.
Kombinasi dari kerajinan beliau
bersilaturrahmi dan sikap yang tawadhu’ itulah saya kira yang membuat beliau
memiliki banyak teman daripada musuh. Dan karena itu, jauh lebih banyak yang
menangisi kepergian beliau daripada yang “menertawai” (kalau itu ada).
Pengabdian Kak Ali pada ilmu, santri
dan pesantren tentu tidak diragukan lagi. Beliau dikenal istiqamah dalam
mengajar. Bahkan, mendidik santri adalah tugas utama yang sangat beliau
prioritaskan dibanding tugas da’wah di luar. Sebagai pengasuh utama di pondok
pesantren Al-Khoirot, beliau menerima tanggung jawab itu sebagai amanah yang
dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
Kepedulian Kak Ali akan kondisi
moral umat yang semakin terdegradasi memotivasi beliau mendirikan FSPS (Forum
Silaturrahmi Peduli Syariah) pada tahun 1998 sebagai wahana kerja sama ulama
dan masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menjaga dan meningkatkan
stabilitas moral dan sosial umat. Gerakan ini mendapat apresiasi banyak pihak
karena memiliki cara-cara efektif non-kekerasan dan non-anarkis dalam
mengimplementasikan program-programnya. Pada 2008 forum ini berganti nama
menjadi FPS (Forum Peduli Syariah).
***
Masih sangat banyak hal yang ingin
dilakukan dan akan terus dilakukan Kak Ali ke depan baik yang berkaitan dengan
pesantren Al-Khoirot secara khusus maupun perjuangan menegakkan syariah dan
pemberdayaan umat secara umum. Namun, Allah berkehendak lain. Pada hari Selasa
5 April 2011 bertepatan dengan 1 Jumadil Ula 1433, beliau menghembuskan
nafasnya yang terakhir pada sekitar jam 06.30 pagi dalam perjalanan dari RSI
Gondanglegi menuju RSI Aisyiah Malang dalam usia 51 tahun (1960-2011).
Banyak orang berpendapat bahwa
beliau wafat terlalu muda. Dengan kata lain, umur Kak Ali terlalu pendek. Bagi
saya, umur panjang atau pendek bukan terletak pada berapa usia kita saat
meninggal. Ukuran usia pendek dan panjang itu terletak pada seberapa banyak
amal baik yang telah kita lakukan selama masa kita hidup. Baik amal untuk diri
sendiri maupun amal baik yang bermanfaat pada orang lain. Dalam konteks ini,
Kak Ali telah mendapat anugerah umur yang sangat panjang mengingat begitu
banyak amal baik yang telah beliau lakukan.
Semoga Allah menerima semua amal
baik beliau dan memaafkan semua kesalahan beliau. Dan yang tak kalah penting,
semoga kita yang masih hidup dapat meneladani dan terinspirasi oleh sepak
terjang beliau khususnya dalam soal keikhlasan, kerendah-hatian, kedermawanan,
dan kesederhanaan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar