KH. Zainal Ali Suyuthi (1960-2011)

KH. Zainal Ali Suyuthi adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoirot yang kedua. Beliau adalah menantu dari KH. Syuhud Zayyadi dan mengemban amanah sebagai Pengasuh Pesantren setelah KH. Syuhud Zayyadi wafat pada tahun 1993. Guru-guru beliau adalah sebagai berikut :
  1. KH. Baqir Abdul Hamid bin KH. Abdul Majid Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar
  2. KH. Muhammad Syamsul Arifin Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar
  3. Syed Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Makkah Al-Mukarramah
  4. Syekh Ismail Al-Yamani, Makkah Al-Mukarramah
  5. Syekh Al-Harawi, Jeddah, Arab Saudi
In Memoriam KH Zainal Ali Suyuthi
Mengenang KH Zainal Ali Suyuthi, Pengasuh Ponpes Al-Khoirot 1993- April 2011 oleh KH. A. Fatih Syuhud, tulisan ini juga dimuat di Buletin Al-Khoirot Edisi April 2011.
Almarhum KH. Zainal Ali Suyuthi 
(1960-2011)
Saya kira setiap muslim menyadari betul arti Al Quran Surah Ali Imran (3) ayat 185 yang menyebutkan bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan mati atau makna dari Surah An Nisa’ (4) ayat 78 yang menegaskan bahwa, “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh.” Namun, manusia tetaplah makhluk Allah yang terdiri dari akal dan rasa.
Akal pikiran kami merelakan kepergian beliau dengan keikhlasan penuh. Hal ini berdasarkan keimanan pada Allah dan kepatuhan pada kehendakNya yang berhak mengambil jiwa manusia kapanpun Dia kehendaki (QS Yunus 10:49) . Namun, rasa tidak dapat berbohong. Rasa yang mengendalikan emosi kami merasa sulit berkompromi dengan akal. untuk merelakan begitu saja kepergian beliau dari dunai ini untuk selamanya. Dan itu terbukti saat keluarga besar Al-Khoirot—anak istri, saudara, santri dan jama’ah– menangisi kepergian beliau yang terlalu cepat. Sampai-sampai istri beliau, Ny. Hj. Lutfiyah Syuhud, terus menggumamkan ucapan, “Ya Allah, relakan kami melepas kepergiannya” secara berulang-ulang dengan linangan air mata.
Menangisi yang meninggal adalah manusiawi. Rasulullah sendiri menangis saat putra beliau Ibrahim meninggal. Dalam Islam, yang tidak dibolehkan adalah meratap. Karena meratapi orang yang meninggal identik dengan ketidakrelaan atas kehendak Allah.
Di sisi lain, banyaknya orang yang menangis saat meninggalnya Kak Ali, begitu biasanya saya memanggil beliau, adalah bukti betapai banyak orang yang mencintai, menghormati dan menyayangi belau. Tangisan atau tidak adanya tangisan merupakan salah satu bukti dari seberapa seseorang itu disayang atau dibenci semasa ia masih hidup.

Figur Sederhana
Kak Ali merupakan sosok figur yang sederhana dalam banyak hal. Dan karena kesederhanaannya itulah ia memiliki banyak teman dan hampir tidak punya musuh. Kesederhanaan dalam sikap identik dengan perilaku tawadhu’ dan selalu mengalah serta tidak pernah memaksakan kehendaknya walaupun itu dianggapnya baik.
Kesederhanaan dalam gaya hidup (life-sytle) sangat tampak dalam cara beliau berpakaian. Beliau jarang membeli baju baru kalau yang ada masih dianggap baik. Pada saat saya kembali dari India pada Maret 2007, saya menghadiahi belaiu sebuah kaos t-shirt bertuliskan Delhi University. Kaos t-shirt itu saya lihat masih sering belaiau pakai sampai beberapa hari sebelum beliau wafat yang berarti beliau memakai kaos yang sama selama 5 tahun.
Kesederhanaannya dalam gaya hidup bukan berarti belau tidak mampu secara ekonomi. Belaiu adalah seorang pekerja keras dan memiliki naluri wiraswasta yang baik. Oleh karena itu belaiu bukanlah seorang yang kekurangan secara ekonomi. Kecukupan secara ekonomi dan pola hidup yang sederhana membuat beliau dikenal sebagai orang yang dermawan. Para fakir miskin yang datang meminta bantuan selalu pulang dengan senyuman. Begitu juga, beliau adalah orang pertama mengeluarkan dana untuk pembangunan pesantren Al-Khoirot sebelum meminta bantuan pada orang lain.

Melayani Umat
Selain pekerja keras dalam membina usaha, beliau juga dikenal sangat rajin dalam berda’wah. Dengan majlis dzikir Kalimatut Tauhid-nya beliau rajin berkeliling dari kampung ke kampung di seputar kabupaten Malang dan Lumajang untuk menyebarkan da’wah pada umat. Bahkan, sehari sebelum meninggal beliau masih sempat menghadiri majlis dzikir dan pengajian di desa Gesing, Dampit.
Selain itu, beliau juga dikenal sangat rajin bersilaturrahmi. Baik itu dalam bentuk menghadiri undangan pengajian, undangan perkawinan, silaturrahmi biasa maupun takziyah pada orang yang meninggal. Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah memilih-milih status sosial yang akan dikunjungi. Bagi beliau mengunjungi rakyat biasa sama berharganya dengan mengunjungi ulama atau pejabat.
Kombinasi dari kerajinan beliau bersilaturrahmi dan sikap yang tawadhu’ itulah saya kira yang membuat beliau memiliki banyak teman daripada musuh. Dan karena itu, jauh lebih banyak yang menangisi kepergian beliau daripada yang “menertawai” (kalau itu ada).
Pengabdian Kak Ali pada ilmu, santri dan pesantren tentu tidak diragukan lagi. Beliau dikenal istiqamah dalam mengajar. Bahkan, mendidik santri adalah tugas utama yang sangat beliau prioritaskan dibanding tugas da’wah di luar. Sebagai pengasuh utama di pondok pesantren Al-Khoirot, beliau menerima tanggung jawab itu sebagai amanah yang dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
Kepedulian Kak Ali akan kondisi moral umat yang semakin terdegradasi memotivasi beliau mendirikan FSPS (Forum Silaturrahmi Peduli Syariah) pada tahun 1998 sebagai wahana kerja sama ulama dan masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menjaga dan meningkatkan stabilitas moral dan sosial umat. Gerakan ini mendapat apresiasi banyak pihak karena memiliki cara-cara efektif non-kekerasan dan non-anarkis dalam mengimplementasikan program-programnya. Pada 2008 forum ini berganti nama menjadi FPS (Forum Peduli Syariah).
***
Masih sangat banyak hal yang ingin dilakukan dan akan terus dilakukan Kak Ali ke depan baik yang berkaitan dengan pesantren Al-Khoirot secara khusus maupun perjuangan menegakkan syariah dan pemberdayaan umat secara umum. Namun, Allah berkehendak lain. Pada hari Selasa 5 April 2011 bertepatan dengan 1 Jumadil Ula 1433, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada sekitar jam 06.30 pagi dalam perjalanan dari RSI Gondanglegi menuju RSI Aisyiah Malang dalam usia 51 tahun (1960-2011).
Banyak orang berpendapat bahwa beliau wafat terlalu muda. Dengan kata lain, umur Kak Ali terlalu pendek. Bagi saya, umur panjang atau pendek bukan terletak pada berapa usia kita saat meninggal. Ukuran usia pendek dan panjang itu terletak pada seberapa banyak amal baik yang telah kita lakukan selama masa kita hidup. Baik amal untuk diri sendiri maupun amal baik yang bermanfaat pada orang lain. Dalam konteks ini, Kak Ali telah mendapat anugerah umur yang sangat panjang mengingat begitu banyak amal baik yang telah beliau lakukan.
Semoga Allah menerima semua amal baik beliau dan memaafkan semua kesalahan beliau. Dan yang tak kalah penting, semoga kita yang masih hidup dapat meneladani dan terinspirasi oleh sepak terjang beliau khususnya dalam soal keikhlasan, kerendah-hatian, kedermawanan, dan kesederhanaan. Amin.

0 Komentar